Dari
individu-individu yang masing-masing merasa memiliki ketidaksempurnaan,
terlahir kebutuhan untuk saling melengkapi, membentuk suatu
kolaborasi yang menjadikan dakwah ini lebih kokoh dalam amal-amal jama’i.
Kelebihan dan kekurangan masing-masing individunya menjadikan kolaborasi ini
lebih erat, saling mengait, saling menopang, berbagi tugas. Terhindar dari perasaan
merasa super yang menimbulkan sikap egois dan individual.
Masih kuingat cerita
yang kudengar di waktu kecil, peristiwa yang membuat seorang pemburu monyet
tersentuh hatinya, membuatnya insyaf.
Ia telah mengarahkan
bidikannya, di hadapannya seekor anak monyet bersama sepasang induknya. Namun
induk monyet itu tidak lari. Ia melindungi anaknya dalam dekapan. Ketika peluru
telah menembus tubuhnya ia serahkan si kecil itu kepada induk jantan, baru ia
menjatuhkan dirinya.
Anak bebek, jika
engkau saat itu berada di sana mungkin kamu merasa sangat iri. Kerinduanmu akan
kasih sempurna yang tak kau dapatkan.
Saat aku masih kecil,
kulihat ibu membeli beberapa telur bebek. Telur-telur itu ditaruh di sarang tempat
bertelurnya ayam.
“Bebek tidak
mengeram, kalau mau menetaskan telurnya dititipkan sama ayam atau menthok,”
kata ibu.
“Kalau begitu bebek
bertelur terus, tak pernah istirahat?” tanyaku.
Aku pikir
menguntungkan sekali si bebek ini, hanya bertelur dan bertelur tak kenal
henti, tak seperti ayam yang setelah bertelur beberapa saat mesti berhenti dan
menunjukkan tanda-tanda akan mengeram. Apalagi ketika ia kebingungan ke sana
kemari mencari telurnya yang telah diambil, kasihan juga. Yang kulihat,
mengerami telur itu suatu pekerjaan yang menyiksa baginya, hanya sesekali
beranjak untuk makan dan membuang kotoran, tubuhnya menjadi kurus. Tapi aku
paham sekali kalau ia ikhlas menjalani kodrat ini.
Yang aku tak
mengerti, lantas bagaimana keberlangsungan kehidupan bebek-bebek itu sebelum
manusia menitipkan telur-telurnya kepada ayam, atau menetaskannya dalam
mesin-mesin penetas.
Saat itu aku terlalu
kecil untuk bertanya tentang saat-saat ia melewati masa sulit di zaman es
selama ribuan tahun, kemusnahan massal kehidupan di bumi akibat hantaman komet
atau letusan Toba yang dahsyat. Hanya takdir Allah yang telah menetapkan
spesies ini tetap lestari, memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
Bahwasanya Allah
menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Ketika di satu sisi ada suatu
kelebihan, di sisi lain kita mungkin mendapati kekurangan yang serupa. Hingga
bagaimana dalam kebersamaan ini kita bisa saling melengkapi, saling
meringankan.
Manusia, bebek dan
ayam, dari kelebihan dan kekurangannya masing-masing menghasilkan suatu
kolaborasi indah. Andai manusia memiliki kemampuan bertelur, bebek mampu
mengeram, atau ayam memiliki akal pikir yang sempurna, niscaya kolaborasi ini
tidak lagi diperlukan.
Anak bebek, jangan
engkau keluhkan takdir tentang indukmu yang tak mampu mengeramimu, tak punya
sayap lebar untuk menaungi anak-anaknya, tapi ingat pula takdir kemandirianmu
dari saat engkau baru saja menetas, engkau telah diberi kemampuan untuk
mengurus kehidupanmu. Selemah inikah kita manusia, ketika keluh kesah atas
kekurangan dan kelemahan masih menghiasi hari-hari kita.
Manusia hanya senang
dengan produktifitasmu, mendapatimu bertelur tanpa henti. Namun apakah mereka
berpikir bahwa di balik itu ada sebuah ketidaksempurnaan, kepiluan dari
telur-telur yang ditelantarkan begitu saja.
Juga tentang
kenikmatan Islam, yang saat ini kita nikmati, di balik itu ada jerih payah para
perintis dakwah yang mendahului kita. Jika kita terkagum-kagum atas pengorbanan
dan keteguhan mereka, sebenarnya di balik itu ada pengorbanan dari keluarga-keluarga
yang ditelantarkan, anak-anak yang ditinggalkan, kepentingan pribadi yang
dikesampingkan, untuk sebuah kepedulian menyampaikan risalah agar
manusia-manusia lain menikmatinya.
Mereka yang telah
berbuat meski kondisi mereka sendiri dalam keadaan kekurangan, azam yang mereka
miliki membuat mereka mampu menyiasati keterbatasan, dari kesulitan-kesulitan
itu apa yang mereka lakukan menjadi lebih bernilai.
Meski buah-buah dari
pengorbanan itu terkadang telah datang dari arah yang tak dimengerti, waktu dan
materi yang dikorbankan diganti dengan rizki atau pertolongan dalam berbagai
bentuknya. Keluarga dan anak yang ditelantarkan mendapatkan kemudahan atau
anugerah dalam bentuk lain. Sebagian dari pahala yang telah bisa dinikmati
sebelum pahala yang sesungguhnya di akhirat kelak.
Menikmati buah dari
pohon yang ditanam para pendahulu tentunya menjadi kebahagiaan bagi kita. Namun
yang semestinya lebih membahagiakan, manakala kita mampu menanam agar buahnya
dinikmati generasi sesudah kita.
Semestinya kita juga
tidak hanya menikmati buah-buah dari apa yang telah diusahakan para pendahulu
kita. Tapi bagaimana kita melakukan pengorbanan serupa untuk keberlangsungan
dakwah ini di masa datang. Buah-buah pengorbanan itu pada hakikatnya akan
kembali kepada kita jua.
Sumber: dakwatuna.com
Posting Komentar