Sejarah penetapan awal penanggalan dalam kalender Islam
dilatari oleh sebuah momentum sejarah yang sangat monumental.
Pertimbangan atas keputusan penetapan awal penanggalan Islam adalah sebuah
pilihan yang diwarnai oleh semangat kebangkitan, jauh dari sikap pengkultusan
terhadap sosok figure seseorang. Maimun bin Mahran ra meriwayatkan, pada suatu
hari khalifah Umar bin Khattab RA mendapat sebuah surat penting dari sahabat
yang di dalamnya hanya tercantum bulan Sya’ban. Sehingga beliau menanyakan:
“bulan Sya’ban yang mana yang dimaksud?” saat itu tak ada satupun yang bisa
menjelaskan. Beberapa kali pula Umar bin Khathab mendapati surat-surat
pemerintahan maupun diplomatik yang tidak terdapat angka tahunnya. Beliaupun
menginisiasi untuk menetapkan awal penanggalan Islam. Kemudian dikumpulkanlah
para sahabat untuk membicarakan hal tersebut dan lahirlah keputusan untuk
memulai perhitungan awal tahun yakni ketika terjadinya peristiwa Hijrah dari
Mekah ke Yatsrib (Madinah) berdasarkan saran yang disampaikan oleh sayyidina
Ali RA. Begitulah latar historis yang melandasi penetapan awal perhitungan tahun
1 Hijriyah. Bukan dilatari oleh alasan kelahiran Nabi atau wafatnya Nabi.
Menyadari keagungan sejarah “hijrah” ini maka tidak khilaf apabila umat Islam
menetapkan tahun barunya dengan merujuk pada sejarah hijriyah. Hal ini memiliki
arti bahwa lembaran baru Islam tidak dibuka dengan keagungan seorang tokoh
semisal dengan memperingati kelahiran Nabi. Akan tetapi, Islam mengawali setiap
lembaran barunya dengan semangat kelahiran peradaban baru Islam di Madinah.
Perlu dipahami bahwa hijrah Rasulullah dan para
sahabat ke Madinah pada waktu itu sama sekali bukan karena keinginan untuk
sengaja meninggalkan tanah airnya, akan tetapi karena perintah dari Allah SWT
sebagai bagian dari strategi dakwah dan sebagai upaya yang sungguh-sungguh
untuk melaksanakan ajaran-Nya. Setelah hijrah terbentuklah masyarakat Madinah
yang penuh dengan kedamaian, ketenangan, persamaan, kesejahteraan, keadilan,
dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Firman Allah SWT dalam Al-Quran, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah,
dan berjuang di jalan Allah, merekalah (orang-orang yang) mengharapkan rahmat
Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Baqarah
[2]: 218)
Hijrah makani atau perintah untuk melakukan hijrah
dalam arti berpindah secara fisik demi untuk menyelamatkan masa depan Islam
yang sedang terancam sudah tidak ada lagi setelah pembebasan kota
suci Mekkah 14 abad yang silam. Tetapi hijrah dalam pengertian maknawi, seperti
hijrah dari kehidupan yang jahili menuju kehidupan yang madani, hijrah dari
sifat malas dan putus asa kepada ketekunan berusaha, hijrah dari perilaku
curang dan korup kepada perilaku adil dan jujur, hijrah dari kemaksiatan kepada
ketakwaan, serta hijrah dari perangkap kemiskinan yang mendekatkan kepada
kekufuran menuju kehidupan yang layak dan bermartabat, tetap relevan sepanjang
masa. Berbagai peristiwa dan kondisi memprihatinkan yang bagai benang kusut
terjadi dalam kehidupan bangsa kita pada saat ini, hanya dapat diatasi dengan
mengimplementasikan ajaran dan nilai-nilai hijrah.
Selain itu pula, perintah Rasulullah untuk
mendirikan masjid Nabawi sesaat ketika beliau tiba di Madinah dapat dimaknai
sebagai sebuah pesan bahwa saatnya untuk menggalakkan ibadah serta amal atau kerja
jama’i yang akan menggerakkan pembangunan tatanan baru masyarakat muslim di
Madinah. Tatanan masyarakat baru dan diklaim oleh para pakar sejarah sebagai
tatanan masyarakat paling modern di zamannya. Kemudian pula, tindakan
Rasulullah yang telah mempersatukan kaum Anshar dan Muhajirin dalam satu ikatan
persaudaraan yang begitu Indah dapat dimaknai sebagai sebuah pesan bahwa
persatuan umat Islam menjadi modal penting dalam rangka perjuangan memenangkan
agama Allah di muka bumi. Bila hati umat Islam tercerai berai tanpa ikatan,
maka sebanyak apapun jumlahnya untuk memenangkan risalah Agama ini di muka bumi
menjadi perkara yang mustahil. Umat Islam bukannya saling menguatkan satu sama
lain tetapi justru sebaliknya saling menjatuhkan, sebagaimana peristiwa yang
menimpa saudara-saudara kita di Mesir, Syria, Palestina, Afghanistan dan Irak.
Olehnya, yang harus melandasi persaudaraan di antara umat Islam yaitu cinta
karena Allah, bukan karena alasan fisik belaka apalagi karena di dorong oleh
alasan harta dan kekuasaan.
Sebagai kesimpulan, kita perlu menyadari sepenuhnya
bahwa untuk mengembalikan izzatul Islam wal muslimin maka kita wajib
merevitalisasi formula kebangkitan yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah
dalam momentum hijrah tersebut. Ibadah harus melandasi setiap amal dan kerja
jamaah kita dan keabadian persaudaraan umat Islam hanya dapat dibangun di atas cinta
karena Allah. Formulasi cinta, kerja, dan harmonisasi yang terbangun di tengah
umat niscaya akan kembali mengantarkan umat Islam ke jalan kebangkitan yang
dicita-citakannya. Wallahul musta’aan.
Sumber: dakwatuna.com
Posting Komentar